Peristiwa kematian orangtua tidak jarang menjadi titik balik dalam berbagai aspek kehidupan seorang anak. Peristiwa tersebut umumnya mendorong perubahan yang signifikan dalam pandangan anak terhadap dirinya, emosi diri yang dominan serta hubungan anak dengan orang lain. Hal itu disebabkan kematian orangtua seringkali merupakan awal dari masa dimana anak mengevaluasi prioritas hidupnya serta meredefinisi diri dalam konteks transformasi identitasnya.
Sebenarnya, transformasi identitas anak merupakan sesuatu yang lumrah dan tidak selalu terkait dengan peristiwa kematian orangtua. Misalnya, bagi umat Katolik, peristiwa komuni pertama merupakan salah satu bentuk peristiwa yang menandai transformasi identitas anak. Selain itu, kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) juga merupakan peristiwa yang menandai transformasi identitas anak menuju kedewasaan. Namun, berbeda dengan peristiwa-peristiwa tadi yang umumnya terduga dan dapat dipersiapkan sebelumnya, kematian orangtua biasanya tidak terduga dan waktu untuk mempersiapkan diri menghadapi peristiwa tersebut umumnya minim. Akibatnya, tidak jarang kematian orangtua menimbulkan krisis psikologis dalam diri anak. Bahkan di beberapa kasus ekstrem, sampai menimbulkan masalah kesehatan ataupun depresi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kematian orangtua umumnya menimbulkan tekanan psikis yang besar dalam diri anak. Selain terjadinya transformasi identitas, hal lain yang berkontribusi terhadap krisis dalam diri anak akibat kematian orangtua adalah fakta bahwa anak umumnya memiliki ikatan emosi yang dalam dengan orangtuanya, sehingga ketika mengalami kematian orangtua, anak seperti mengalami kematian sebagian dari dirinya. Akan tetapi, peristiwa kematian orangtua tidak selalu berdampak negatif pada anak. Di beberapa kasus dimana orangtua yang meninggal merupakan orangtua yang memiliki karakter yang menekan anak, peristiwa tersebut justru dapat berdampak positif bagi anak. Selain karakteristik orangtua yang meninggal, kondisi fisik orangtua sebelum meninggal juga mempengaruhi tingkat krisis pada anak akibat kematian orangtuanya. Bila sebelum meninggal, orangtua mengalami sakit selama periode yang cukup lama, maka anak memiliki kesempatan persiapan psikologis menghadapi kematian orangtua, dengan cara membayangan akan seperti apa hidupnya nanti dan bagaimana ia akan menjalankan kehidupan bila orangtuanya yang sakit tersebut meninggal.
Hal lain yang biasanya juga mempengaruhi tingkat krisis pada anak akibat kematian orangtua adalah gender dari orangtua yang meninggal. Kematian ibu umumnya berdampak lebih mendalam dibandingkan kematian ayah. Hal tersebut dikarenakan ibu umumnya lebih dekat secara emosi dan lebih terlibat dalam kehidupan anak. Dibandingkan ayah, umumnya ibulah lebih sering menyuapi anak makan, memandikan ataupun merawat anak saat sakit. Selain gender orangtua, gender anak pun seringkali mempengaruhi tingkat krisis anak akibat kematian orangtua. Natur wanita yang pada umumnya lebih mengutamakan hubungan dibandingkan pria, tidak jarang menyebabkan tingkat krisis yang dialami anak wanita lebih dalam dibandingkan anak pria ketika mnghadapi kematian orangtua.
Gender anak tidak hanya mempengaruhi tingkat krisis, tetapi tidak jarang juga mempengaruhi cara anak menghadapi emosi kesedihan yang diakibatkan oleh kematian orangtua. Anak pria umumnya lebih sungkan untuk mengekspresikan kesedihannya sehingga lebih sering menggunakan strategi menghindar (avoidance strategy) ketika berhadapan dengan emosi yang intens yang timbul akibat kematian orangtua. Sedang anak wanita biasanya lebih memilih strategi yang melibatkan ekspresi emosi. Hal tersebut dikarenakan dalam berbagai budaya, ekspresi emosi umumnya lebih diterima secara sosial bila terjadi pada kaum wanita dibandingkan pada kaum pria, terlepas dari usianya.
Namun terlepas dari berbagai hal tersebut di atas, beberapa hasil penelitian telah mengindikasikan bahwa kesempatan dan kemampuan untuk mengekspresikan emosi kesedihan, baik dengan tangisan ataupun membicarakan dengan orang lain tentang perasaan kehilangannya, umumya menolong anak dalam menghadapi krisis yang timbul akibat kematian orangtuanya.
Comments