Selama ini kata “disiplin” sering dikaitkan dengan peraturan dan hukuman, sehingga disiplin sepertinya bertolak belakang dengan kasih. Padahal makna disiplin yang sesungguhnya adalah melatih untuk memiliki pemikiran dan karakter yang sehat, baik dari segi moral, agama maupun budaya. Dengan makna yang demikian, maka disiplin mencakup juga pengajaran, memberikan contoh, permintaan, instruksi, menyediakan pengalaman belajar yang menyenangkan, dan juga konsekuensi berupa reward and punishment. Berbagai aktivitas tersebut paling efektif bila dilakukan dengan kasih. Karenanya, disiplin dan kasih tidak bertolak belakang sama sekali. Malah sebaliknya, dalam mendisiplin anak tidak dapat dipisahkan dari kasih, karena respon anak terhadap displin dari orang tua sangat bergantung kepada seberapa besar anak itu merasa dikasihi oleh orang tua. Jadi, sebagaimana Alkitab mengatakan bahwa hukum yang terutama adalah kasih (Markus 12 : 30 – 31), maka dalam mendisiplin anak pun yang terutama adalah kasih. Kasih adalah kunci keberhasilan mendisiplin anak. Namun perlu diperhatikan, dalam mengekspresikan kasih kepada anak, kuncinya adalah anak “merasa dikasihi”. Bila apa yang dilakukan orang tua tidak membuat anak merasa dikasihi, maka orang tua perlu mencari cara lain untuk menunjukkan kasihnya kepada anak.
Setiap anak, tanpa kecuali, memiliki kebutuhan untuk “merasa dikasihi”. Semakin kecil usia anak, semakin ia bergantung pada perilakunya untuk mendapatkan kasih, karena kemampuan berpikir rasionalnya belum berkembang sebaik orang dewasa dan ia juga belum terlalu mampu untuk mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya dengan kata-kata. Oleh karena itulah, cara yang ia pikirkan untuk mendapatkan kasih dari orang tuanya seringkali justru membuat orang tua jengkel. Misalnya, sudah bisa makan sendiri tapi kalau makan di rumahnya ia ingin disuapi orang tua, atau sering sekali merengek minta dibelikan ini itu, dan lain sebagainya. Jadi, seringkali perilaku anak yang dinilai negatif oleh orang tua, sesungguhnya adalah cara anak untuk mendapatkan kasih orang tua, menurut cara berpikirnya yang masih anak-anak, tentunya. Oleh karena itu, sebenarnya sangat tidak pada tempatnya, bila orang tua menghukum anak tanpa terlebih dahulu berusaha untuk memastikan anaknya merasa dikasihi. Demikian juga, tidaklah bijak menghukum anak tanpa terlebih dahulu memenuhi kebutuhan anak yang ada saat itu dan memastikan ekspektasi orang tua terhadap anak realistis, sesuai tahap-tahap perkembangan anak. Pengetahuan tentang hal ini dapat dengan mudah diperoleh melalui berbagai seminar, buku maupun multi media. Prinsipnya, memberi hukuman bukanlah haram, tapi sebaiknya hukuman menjadi cara disiplin yang terakhir setelah semua cara disiplin yang lain sudah dilakukan dan tidak berhasil. Semakin anak merasa dikasihi oleh orang tua, semakin hukuman tidak diperlukan sebenarnya oleh orang tua.
Selain itu, anak yang merasa ia dikasihi oleh orang tuanya akan memiliki image yang positif terhadap orang tuanya, sehingga cenderung ingin menjadi seperti orang tuanya. Dengan demikian, akan jauh lebih mudah bagi orang tua untuk memberikan bimbingan kepada anak, karena dari diri anak sendiri sudah ada keinginan untuk menjadi seperti orang tuanya. Tapi kalau anak merasa tidak dikasihi oleh orang tuanya, akan sulit bagi anak untuk memiliki image yang positif terhadap orang tua sehingga ia cenderung sulit menerima nilai-nilai yang diajarkan oleh orang tua. Di beberapa kasus ektrem, anak yang merasa tidak dikasihi oleh orang tuanya, akan menunjukkan rasa tidak suka yang terbuka terhadap orang tua. Misalnya, justru melakukan kebalikan dari apa yang diminta orang tua, hanya untuk membuat orang tua kesal. Jadi, erat sekali kaitan antara disiplin dengan kasih, dengan pengertian disiplin adalah melatih untuk memiliki pemikiran dan karakter yang sehat, baik dari segi moral, agama maupun budaya. Selamat mendisiplin dengan kasih.
Comments