Kehadiran anak dengan perilaku yang sulit ditangani dapat mempengaruhi secara negatif semua aspek kehidupan sang anak maupun keluarga anak tersebut, mulai dari jalannya berbagai aktivitas rutin di rumah, di sekolah atau di tengah masyarakat, sampai kepada keharmonisan rumah tangga orangtua. Perilaku yang sulit ditangani tersebut biasanya berupa perilaku agresif dan mengganggu serta berbagai jenis perilaku yang tidak tepat secara sosial. Untuk mengatasi fenomena tersebut, salah satu cara yang paling efektif sejauh ini adalah mengaplikasikan pendekatan self-talk. Adapun self-talk adalah berbagai hal yang seseorang katakan kepada dirinya sendiri dalam hati dan pikirannya.
Dalam pendekatan ini, salah satu hal pertama dan terutama yang harus dilakukan orangtua adalah berusaha memahami apa yang ia pikirkan tentang perilaku sang anak. Dengan memeriksa self-talknya terkait perilaku sulit anak, maka orangtua dapat lebih memahami hal-hal apa yang sesungguhnya penting bagi dirinya dan orangtua dapat menyadari bagaimana pikirannya mempengaruhi perasaan maupun tindakannya. Adapun tujuan memproses self-talk ini adalah agar orangtua memiliki pikiran yang lebih optimistik dan produktif dalam menangani perilaku sulit anak. Hal tersebut berperan sangat besar dalam menentukan tingkat keberhasilan orangtua dalam mengatasi perilaku sulit anak.
Proses memeriksa self-talk dapat dimulai dengan mengidentifikasi satu peristiwa dimana orangtua tidak berhasil menangani perilaku sulit anak. Periksa apakah ada pikiran yang bersifat pesimistik terkait peristiwa tersebut dan bagaimana dampaknya terhadap tindakan orangtua. Misalnya, ketika anak menunjukkan perilaku tantrum di pusat perbelanjaan, orangtua berpikir “Saya bukan ibu yang baik, saya tidak bisa mendidik anak saya untuk berperilaku baik di tempat umum. Sepertinya di kemudian hari saya harus menghindari membawa anak saya ke tempat-tempat umum”. Bila orangtua memeriksa pikiran tersebut, maka orangtua akan menyadari bahwa apa yang ia pikirkan tentang kemampuannya mendidik anak mempengaruhi keputusan tindakan yang diambil di kemudian hari, yaitu menghindari membawa anak ke tempat umum di kemudian hari. Dengan demikian, orangtua meminimalkan kesempatan anak berlatih mengelola perilakunya di tempat umum.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ketika perasaan frustasi dan kewalahan muncul, seringkali hal tersebut memicu munculnya pikiran negatif, seperti “Semua ini karena saya tidak mampu mendidik anak dengan baik” atau “Sepertinya anak saya tidak akan pernah bisa berubah”. Keberadaan pikiran negatif tersebut membuat orangtua sangat rentan untuk berhenti berusaha ataupun melakukan tindakan-tindakan yang tidak seharusnya, seperti memarahi anak berkepanjangan atau memukul anak. Apa yang dipikirkan orangtua, akan sangat mempengaruhi tindakannya. Pikiran negatif akan memunculkan tindakan negatif.
Agar orangtua bisa terlepas dari pengaruh pikiran negatifnya, maka ketika pikiran negatif muncul, maka orangtua perlu mengintervensi pikiran negatif tersebut, agar ia dapat mengatasi situasi yang terjadi dengan lebih efektif. Untuk itu, biasanya aplikasi teknik distraksi akan menolong. Distraksi yang dimaksud dalam konteks ini, adalah mengalihkan fokus perhatian dari pikiran negatif yang muncul terkait suatu peristiwa. Distraksi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, antara lain :
· Bernyanyi
· Menuliskan pikiran negatif yang muncul di sepotong kertas, lalu membuang kertas itu
· Mengatakan kepada diri sendiri, “Pikirkan pikiran positif”, lalu mengulang-ulang kalimat positif yang relevan, misalnya “Keadaan akan menjadi lebih baik”
Ada baiknya sebelum perilaku sulit anak terjadi lagi, orangtua sudah memikirkan dan memutuskan teknik distraksi mana yang akan dicobanya untuk mengintervensi bila pikiran negatif muncul. Teknik-teknik distraksi di atas merupakan teknik intervensi yang bersifat temporer, dimana dampaknya bersifat sementara. Bila orangtua telah berhasil melakukan teknik temprorer, maka langkah berikutnya adalah melakukan teknik intervensi permanen. Adapun teknik intervensi permanen terdiri dari empat tahap sebagai berikut :
1. Menjadwalkan waktu khusus untuk memproses pikiran negatif tersebut, misalnya setelah pulang kantor atau ketika anak telah tidur.
2. Mengidentifikasi dengan tajam pikiran negatif apa yang muncul. Hal ini antara lain bisa dilakukan dengan menanyakan kepada diri sendiri, “Apa persisnya yang saya pikirkan atau katakan kepada diri sendiri, yang sifatnya negatif atau pesimistik?” Jawabannya misalnya, “Oh, ternyata tadi saya berpikir bahwa tidak ada satu hal pun yang mampu saya lakukan untuk mengubah perilaku anak saya”.
3. Daftarkan hal-hal yang mendukung pikiran tersebut. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan menanyakan kepada diri sendiri, “Hal-hal apa saja yang membuat saya percaya bahwa pikiran saya tersebut benar adanya?”
4. Cari alternatif penjelasan terhadap perisitiwa tersebut, yang bersifat lebih netral atau positif. Hal ini antara lain bisa dilakukan dengan menanyakan kepada diri sendiri, “Hal lain apa yang bersifat netral atau positif, yang bisa jadi penjelasan terhadap terjadinya perilaku anak saya yang sulit tadi?” Jawabannya misalnya, “Mungkin anak saya masih dalam proses belajar menguasai ketrampilan mengelola emosinya secara lebih efektif. Bila ia sudah menguasai ketrampilan tersebut, tantrumnya akan semakin hilang”.
5. Daftarkan hal-hal yang mendukung pikiran yang lebih netral atau positif tersebut, untuk menghindari menipu diri sendiri. Bila orangtua merasa bahwa alternatif penjelasan yang lebih netral atau positif tadi tidak sesuai dengan kenyataan, maka perlu dicari alternatif lain yang juga bersifat lebih netral atau positif.
Dengan melakukan hal-hal di atas, diharapkan orangtua akan bisa mengganti pikiran negatifnya terkait perilaku sulit anak, dengan pikiran yang lebih netral atau positif, sehingga orangtua terhindar dari tindakan-tindakan yang negatif. Ingatlah, pikiran negatif akan melahirkan tindakan negatif, dan sebaliknya pikiran positif akan melahirkan tindakan positif.
Comments