top of page

IBU YANG BAIKKAH AKU?



Setiap wanita pasti ingin menjadi ibu yang baik bagi anaknya dan menciptakan kondisi rumah yang menyenangkan bagi keluarganya. Namun dalam menjalani peran sebagai seorang ibu, sebagian besar kaum wanita pasti pernah merasa kewalahan, misalnya ketika menghadapi anak yang tantrum, ketika mengarahkan anak untuk makan makanan yang bergizi, mengusahakan agar anak tidak bertengkar dengan kakak atau adiknya, dan sebagainya. Perasaan bersalah ataupun malu karena merasa salah mengambil keputusan ataupun tindakan dalam mendidik anaknya, tidak jarang menghinggapi para ibu. Bahkan, tidak sedikit yang merasa bahwa dirinya bukanlah seorang ibu yang baik. Untuk menghilangkan pikiran dan perasaan negatif tersebut, umumnya seorang ibu akan berusaha dengan lebih keras lagi untuk menjadi ibu yang baik. Akibatnya, tidak jarang ia mengabaikan kebutuhan pribadinya demi “mengurus anak”.


Tidak sedikit ibu yang berada dalam konteks demikian, memiliki anak yang penampilannya terawat baik, namun penampilan sang ibu sendiri tidak terperhatikan, bahkan tidak jarang pula sang ibu mengabaikan kesehatannya demi “mengurus anak”. Ibu-ibu yang demikian, biasanya merasakan hidupnya sangat sibuk dan kehidupannya hanya berkisar seputar mengurus keluarga, serta pekerjaan kantor, bila ibu tersebut juga bekerja di luar rumah. Hampir tidak ada waktu untuk bersosialisasi dengan keluarga besar maupun teman, apalagi untuk hobi ataupun pengembangan diri, baik sebagai individu maupun sebagai seorang professional, bila ibu tersebut bekerja.


Tentu tidak ada seorang ibu pun, yang secara sadar, ingin berada dalam kondisi seperti itu. Untuk menghindari hal itu, pertama-tama yang harus dilakukan adalah melepaskan diri dari mitos tentang “ibu yang baik”. Mitos bahwa seorang ibu yang baik pasti akan memiliki anak yang baik. Mitos tersebut terkait dengan mispersepsi yang umum dimiliki yaitu bahwa anak adalah cerminan dari baik tidaknya seorang ibu. Dalam dunia ilmiah, fenomena tersebut dikenal sebagai “Achievement by Proxy Syndrome”. Sindrom tersebut umumnya menimbulkan banyak masalah. Dalam konteks ini masalah yang timbul adalah sang ibu menggantungkan nilai dirinya sebagai seorang individu bukan pada tindakannya sendiri, melainkan pada tindakan anaknya.


Mitos lain yang perlu dihilangkan adalah bahwa ibu yang baik selalu memprioritaskan kebutuhan dan kepentingan anak dibandingkan diri sendiri. Ibu-ibu yang demikian umumnya cenderung berpikiran bahwa menyediakan waktu untuk diri sendiri bukanlah hal yang perlu diprioritaskan, sehingga mereka sering merasa bersalah jika meluangkan waktu untuk dirinya sendiri. Akibat yang seringkali muncul adalah adalah perasaan letih yang konsisten, sehingga para ibu tersebut menjadi tidak sabaran terhadap anaknya ataupun sering dikuasai kesedihan secara tiba-tiba.


Seorang ibu yang baik akan menghargai dan memperhatikan kebutuhan dirinya sebagai bagian dari pola asuh yang efektif bagi anak-anaknya. Ia juga akan melihat & memperhatikan konteks dirinya secara lebih menyeluruh, tidak hanya sebagai seorang ibu, tapi juga sebagai seorang istri, seorang kakak atau adik, seorang teman, termasuk sebagai seorang professional, bila ibu tersebut bekerja. Ia menyadari bahwa keberhasilannya dalam menjalankan peran sebagai seorang ibu, dipengaruhi oleh konteks kehidupannya secara keseluruhan dan juga oleh kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dirinya sebagai seorang indiviidu. Namun, perlu disadari bahwa konsep ini walaupun sederhana, memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dapat dilatih dan diterapkan dengan baik, karena semua perubahan pola pikir dan kebiasaan memerlukan waktu lama untuk berakar. Selamat menjadi “ibu yang baik”.

1 view

Comments


bottom of page