Ketika anak menjadi dewasa dan kemudian menikah serta membangun keluarganya sendiri, tidak jarang orangtua kebingungan untuk memposisikan dirinya dalam kehidupan anak. Berbagai pertanyaan seputar bagaimana cara membangun hubungan dengan anak dan menantu serta isu apa saja yang masih pantas untuk dibicarakan dengan anak dan kapan saat yang tepat untuk membicarakan isu-isu tersebut seringkali memenuhi benak orangtua di masa itu. Tidak sedikit pula orangtua yang memiliki mixed feelings terhadap anaknya di masa ini, dimana mereka bangga dan senang terhadap pencapaian anaknya, namun di sisi lain orangtua juga merasa tersisihkan dan cemburu terhadap hubungan sang anak dengan menantunya.
Ketika anak telah dewasa dan memiliki keluarga sendiri, tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu hal terutama yang dapat dilakukan oleh orangtua bagi anak adalah memberikan kebebasan kepada anak untuk memutuskan berbagai isu terkait kehidupan pribadinya, walaupun mungkin jalan yang dipilihnya tidaklah sama dengan apa yang kita inginkan. Adakalanya di masa ini anak tidak ingin menerima masukan dari orangtua. Bila anak telah dengan jelas mengindikasikan hal itu, orangtua perlu menghormati keinginan sang anak serta keputusan yang diambilnya.
Namun di sisi lain, orangtua juga perlu terus berusaha untuk membangun suatu konteks dimana baik anak maupun orangtua tetap terlibat dalam kehidupan satu sama lain. Hal itu dikarenakan, hubungan orangtua-anak serupa dengan pernikahan dimana hanya maut yang dapat memutuskan hubungan tersebut. Selain itu, mirip dengan pernikahan, hubungan orangtua-anak juga memiliki masa-masa sulit serta diwarnai dengan beberapa pertengkaran. Oleh karena itu, pada masa ini, yang menjadi tujuan utama bukanlah melepaskan satu sama lain, melainkan menemukan cara untuk dapat terlibat dalam kehidupan satu sama lain tanpa saling mengontrol.
Hal tersebut biasanya akan menjadi lebih sulit dicapai bila orangtua dan anak tinggal di kota yang berbeda sehingga frekuensi pertemuan mereka minim. Dalam kasus demikian, setiap pertemuan akan memerlukan adanya redefinisi terhadap dinamika hubungan orangtua-anak. Hal tersebut dikarenakan, dalam periode dimana mereka tidak saling berjumpa baik anak maupun orangtua mengalami perubahan secara internal, walaupun secara kasat mata mungkin sepertinya tidak banyak perubahan. Bahkan karakter ruang fisik di rumah masing-masing pun mungkin juga telah berubah. Semua itu, tanpa disadari, akan mengakibatkan munculnya perasaan terdiskoneksi (disconnected) baik pada diri orangtua maupun anak.
Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, sangat diperlukan komunikasi yang jujur dan terbuka serta kesediaan untuk mendengar agar masing-masing pihak mengetahui apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh pihak lain, sehingga dapat disepakati langkah-langkah perbaikannya. Hanya komunikasi dan kebersamaanlah yang dapat membangun perasaan dimengerti dan diterima yang menjadi dasar dari terbangunnya kedekatan emosi. Untuk itu, banyak opsi yang dapat dieksplor, seperti berlibur bersama, jadwal telpon, jadwal kunjungan ataupun melakukan aktivitas bersama seperti bersepeda bersama atau berbelanja bersama.
Bila ditinjau lebih dalam, sesungguhnya pola pendekatan kepada anak yang telah dewasa sebenarnya memiliki kesamaan dengan pola pendekatan kepada anak pertama, yaitu bahwa dalam kedua kasus tersebut orangtua belum memiliki pengalaman untuk itu, dan karenanya, perlu banyak belajar. Selain itu, pada kedua kasus tersebut, sangat diperlukan fleksibilitas orangtua untuk memodifikasi perilakunya setiap kali diperlukan, dalam rangka mengakomodasi perubahan yang terjadi pada diri anak, diri orangtua dan juga pada situasi yang ada.
Comments