top of page

MEMBANGUN KETERAMPILAN MEMBACA KRITIS ANAK



Orangtua pada umumnya ingin terlibat secara positif dalam proses belajar anaknya agar anak dapat berhasil dalam pendidikan akademiknya. Hal tersebut sebenarnya sangat baik, karena penelitian telah membuktikan bahwa anak-anak yang orangtuanya terlibat secara positif dalam proses pembelajarannya, umumnya memiliki nilai akademik yang baik. Sayangnya, keinginan yang baik itu jarang diimbangi dengan pengetahuan yang cukup tentang hal-hal apa yang efektif untuk dilakukan terkait hal tersebut.


Demikian halnya dengan membantu anak dalam keterampilan membaca. Tidak sedikit orangtua yang kebingungan bagaimana membangun keterampilan membaca anak, terutama setelah anaknya memasuki jenjang sekolah dasar (SD), karena hampir semua buku yang ada tentang membangun keterampilan membaca anak, berfokus pada anak balita. Sebagian besar literatur tentang membangun ketrampilan membaca anak tersebut menekankankan tentang bagaimana cara mengajarkan anak membaca dengan metode-motode yang digunakan di sekolah-sekolah, seperti menggunakan flash card, metode phonic, penulisan label yang besar pada benda yang dimaksud, dan lain sebagainya.


Padahal bila anak sudah memasuki jenjang pendidikan SD, umumnya anak sudah memiliki keterampilan dasar membaca, yaitu mengerti arti serta cara pengucapan tulisan dalam bentuk kata maupun kalimat dan cara menyusun kata-kata menjadi kalimat. Pada jenjang pendidikan ini, keterampilan yang perlu dibangun adalah keterampilan membaca lanjutan, yaitu mengekstraksi makna, mengklasifikasi, mengeneralisasi ataupun membuat perkiraan berdasarkan apa yang dibacanya. Singkatnya, pada jenjang ini anak perlu membangun keterampilan membaca secara kritis. Untuk itu, sebenarnya orangtua dapat berperan sebagai agen pendukung dengan secara kreatif menggunakan berbagai percakapan santai di rumah untuk membantu anak mengeksplorasi dan mengekstraksi makna dari apa yang dibacanya. Dengan demikian, proses pembelajaran anak di rumah dapat berlangsung tanpa tekanan.


Selain itu, bila anak menemui kata-kata sulit yang tidak ia mengerti artinya, ketika ia membaca, sebaiknya orangtua jangan cepat-cepat mengarahkan anak untuk mencari arti kata tersebut di kamus. Karena, bila anak menghentikan membaca untuk mencari kata di kamus, hal tersebut dapat mengakibatkan pemikiran anak terhadap apa yang sedang dibacanya jadi terputus. Akan lebih baik bila anak diarahkan untuk menandai pada bukunya kata-kata yang tidak ia mengerti, dan bila ia sudah selesai membaca, ia dapat mencari arti kata tersebut pada kamus.


Selain menandai kata-kata yang tidak dimengerti artinya, untuk membangun kemampuan membaca secara kritis, anak juga sebaiknya didorong untuk menandai bagian yang menimbulkan pertanyaan dalam dirinya maupun bagian yang ia sukai atau tidak setuju. Anak juga dapat didorong untuk menulis di margin buku, baik di bagian samping, atas ataupun bawah. Hal itu akan menstimulasi anak untuk “mengunyah” apa yang dibacanya dan akan menjadi pengingat bagi anak ketika ia membaca bagian itu lagi ataupun sebagai bahan diskusi orangtua dengan anak.


Sayangnya, tidak sedikit orangtua, secara tidak sadar, mendidik anak untuk lebih menghargai buku sebagai suatu obyek, bukan mendidik anak untuk membaca secara kritis, dengan melarang anak untuk menuliskan pemikiran yang muncul saat membaca di bagian samping ataupun menandai buku, baik dengan garis bawah ataupun warna. Akibatnya, buku tersebut hanya dimiliki secara fisik oleh anak, tapi isi buku itu tidak masuk ke dalam diri anak. Untungnya, tidak pernah ada kata terlambat untuk memulai suatu kebiasaan baik. Jika kita belum melakukannya, sekarang ada saat yang terbaik untuk memulainya.

8 views
bottom of page