Kata disleksia berasal dari kata Yunani ‘dys’ yang berarti kurang serta ‘lexis’ yang berarti kata. Definisi disleksia sangatlah bervariasi. Salah satu definisi yang umum dipakai adalah definisi Frith (1999) yang menyatakan bahwa bahwa disleksia merupakan kelainan perkembangan saraf yang dipengaruhi oleh faktor biologis, dimana gejalanya tidak hanya meliputi kesulitan dengan bahasa tertulis. Secara umum, disleksia dikenal sebagai kesulitan dalam hal bahasa akibat perbedaan struktur dan cara kerja otak.
Disleksia dapat terjadi pada siapa saja, tanpa memandang usia, ras, maupun kelas sosial. Secara statistik, prevalensi disleksia cukup tinggi. Bahkan di antara sekian banyak jenis “kesulitan belajar”, disleksia merupakan “kesulitan belajar” yang paling sering ditemui. Namun, karena definisi disleksia sangat beragam, maka jumlah individu yang dikategorikan sebagai disleksik pun beragam, yaitu berkisar antara 4 – 15 % dari populasi. Tingkat prevalensi di antara anak pria dan anak wanita relatif sama, hanya saja gejala disleksia lebih mudah dikenali pada anak pria dibandingkan pada anak wanita.
Disleksia dipengaruhi oleh faktor genetik, dimana jika salah satu orangtua disleksik, maka terdapat 50% kemungkinan anaknya akan disleksik. Hal yang penting untuk disadari adalah bahwa disleksia bukanlah suatu bentuk kecacatan (disability), melainkan suatu bentuk kebutuhan khusus (special need). Anak yang disleksik memiliki tingkat kemampuan kognitif yang tidak berbeda dari anak pada umumnya. Hanya saja, otak mereka berbeda dari sebagian besar anak, terutama otak bagian kiri yang berkaitan dengan pemrosesan bahasa. Bahkan pada sebagian anak disleksik, tidak hanya otak mereka yang berbeda, sistem penglihatan (kontrol terhadap gerak motorik mata) mereka pun berbeda. Akibatnya, anak disleksik sulit untuk memroses bahasa secara konvensional. Mereka butuh cara yang berbeda untuk itu.
Berdasarkan hal tersebut, idealnya gejala disleksia dikenali sejak awal pada anak, sehingga dapat diintervensi sejak dini agar pencapaian anak dapat sesuai dengan potensi kognitifnya (tidak underachieve). Gejala disleksia biasanya sudah dapat dikenali sejak anak berusia 5 tahun ke atas. Berikut adalah beberapa gejala yang umum ditemui pada anak disleksik :
Kurang menguasai bunyi bahasa (fonologi)
Relatif sulit mengartikan tulisan (membaca & mengeja)
Relatif sulit menulis
Daya ingat visual dan/atau auditori relatif rendah
Relatif sulit mengkomunikasikan pikiran secara verbal, baik dalam bentuk lisan maupun tertulis
Namun, perlu disadari bahwa jarang sekali anak disleksik menunjukkan semua gejala di atas. Umumnya, kombinasi gejala yang ditunjukkan oleh anak disleksik akan bervariasi antara satu dengan lainnya. Untuk menegakkan diagnosa disleksia pada seorang anak serta mengetahui skala dampaknya, perlu dilakukan tes formal oleh seorang psikolog pendidikan atau oleh guru kebutuhan khusus. Bila seorang anak disleksik, maka akan terdapat perbedaan yang cukup besar antara potensi kemampuan (IQ potensi) dengan performansi anak (IQ realisasi). IQ realisasinya akan cenderung jauh di bawah IQ potensi, terutama dalam hal membaca, mengeja, mengurutkan ataupun mengingat.
Cara Penanganan
Anak disleksik sesungguhnya dapat tetap mengikuti pendidikan di sekolah umum. Namun demikian, ia biasanya membutuhkan pelajaran tambahan dari seorang (orangtua atau guru khusus) yang mengerti bahwa mereka menerima dan memroses informasi dengan cara yang berbeda dari kebanyakan anak lain yang non-disleksik. Metode pengajaran kepada anak disleksik perlu disesuaikan dengan kondisi spesifiknya, yaitu secara multisensori, kumulatif & terstruktur dengan jelas.
Dengan metode pengajaran yang tepat, anak disleksik akan dapat membaca dan mengeja dengan baik, serta mengatasi kesulitan akademik lainnya. Dengan demikian, anak disleksik tersebut dapat memiliki pandangan yang positif tentang dirinya serta terhindar dari implikasi sosial disleksia seperti minim kepercayaan diri dan motivasi belajar ataupun perasaan frustasi atau depresi.
Comentarios